Istri-Istri Rasûlullâh Shallallahu Alaihi wa Sallam Sebagai Ummahâtul Mukminin
ISTRI-ISTRI RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM SEBAGAI UMMAHATUL MUKMININ
Oleh
Syaikh Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr[1]
Dalam al-Qur’ân Allâh Azza wa Jalla telah mensifati istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ibunda kaum Mukminin, sedangkan dalam ayat yang lain Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa penamaan ibu itu untuk wanita yang melahirkan, yaitu dalam firman-Nya:
إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang telah melahirkan mereka [Al-Mujâdilah/58:2]
Padahal dalam al-Qur’an tidak akan didapati perbedaan dan pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Oleh karena itu perlu dijelaskan maksud dari gelar Ummahât yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada para istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berikut penulis akan menjelaskan beberapa perkataan Ulama ketika menjelaskan maksud ayat di atas, kemudian penulis akan menyebutkan ringkasan (intisari) perkataan-perkataan mereka.
Ibnu Jarîr rahimahullah menyebutkan dari Qâtadah rahimahullah tentang tafsir firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
Isteri-isteri nabi adalah ibu-ibu mereka [Al-Ahzâb/33:6]
Beliau rahimahullah berkata, “Dengan (kedudukan) tersebut Allâh Azza wa Jalla mengagungkan hak-hak mereka.”[2]
Ibnu Abi Hâtim meriwayatkan dari Qatâdah rahimahullah, beliau mengatakan, “Maksudnya ibu-ibu mereka dari sisi haramnya seorang Mukmin menikahi salah seorang istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik tatkala Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup bila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mentalaknya, atau setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Mereka haram untuk dinikahi seperti haramnya menikahi ibu kandung sendiri.”[3]
Ibnu Jarîr juga meriwayatkan dari Ibnu Zaid mengenai makna ayat diatas, bahwa maksudnya adalah mereka haram dinikahi oleh orang-orang Mukmin.[4]
Imam Syâfi’i rahimahullah, “Firman Allâh ( وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ) sama seperti yang telah saya jelaskan bahwa itu termasuk bahasa Arab yang meluas, satu kalimat bisa mengandung beberapa makna yang berbeda, maka firman-Nya (أُمَّهَاتُهُمْ) dimaksudkan untuk sebagian makna bukan semua makna. Yaitu kaum Mukminin diharamkan menikahi para istri Nabi tersebut dalam keadaan apapun, namun tidak diharamkan menikahi anak-anak perempuan para istri Nabi tersebut, sebagaimana diharamkan menikahi anak perempuan dari ibu kandung mereka (saudarinya sendiri)), atau saudari sepersusuan.
Imam Syâfi’i rahimahullah juga berkata, “jika ada yang bertanya, “Mana dalilnya?” Dalilnya adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selaku bapaknya kaum Mukminin menikahkan anaknya Fathimah Radhiyallahu anhuma yang merupakan anak dari Ummul Mukminin Khadîjah Radhiyallahu anha dengan Ali Radhiyallahu anhu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menikahkan Ruqayyah Radhiyallahu anhuma dan Ummu Kultsûm Radhiyallahu anhuma dangan Utsmân Bin Affân Radhiyallahu anhu di Madinah, begitu juga Zainab bintu Ummu Salamah (salah seorang Ummul Mukminin) juga menikah, Zubair Bin Awwam Radhiyallahu anhu menikahi salah satu Anak Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan yang lainnya dinikahi oleh Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu anhu sedangkan mereka berdua merupakan saudari dari Ummul Mukminin (Aisyah). Kemudian juga Abdurrahman Bin Auf Radhiyallahu anhu menikahi saudari Ummul Mukminin Zainab bintu Jahsyi Radhiyallahu anhuma. Dalil yang lain yaitu kaum Mukminin tidak bisa mewarisi harta mereka, begitupun sebaliknya Ummahâtul Mukminin tidak mewarisi harta kaum Mukminin, sebagaimana kaum Mukminin mewarisi ibu kandung mereka dan mereka juga mewarisi kaum Mukminin. Para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu diserupakan dengan para ibu karena besarnya hak mereka atas kaum Mukminin, dan juga karena diharamkan menikahi mereka.”[5]
Ibnu Jarîr at-Thabari rahimahullah mengatakan, “Keharaman istri-istri Nabi sama seperti keharaman ibu kandung mereka, yang mana istri-istri Nabi diharamkan untuk dinikahi setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sebagaimana diharamkan menikahi ibu-ibu kandung.”[6]
Imam al-Qurtubi rahimahullah berkata, “Maksud ayat tersebut adalah wajibnya memuliakan, mengagungkan, serta haramnya kaum lelaki Mukminin menikahi mereka (Ummahâtul Mukminin), namun (tetap) wajib menutup hijab mereka, berbeda dengan ibu kandung (tidak perlu ada hijab ketika bertemu dengan anak kandungnya). Ada juga yang mengatakan, ‘Karena kasih sayang Ummahâtul Mukminin kepada kaum Mukminin itu sama seperti kasih sayang ibu kandung kepada anak-anaknya, maka mereka diposisikan sebagai ibu bagi kaum Mukminin. Namun kedudukan mereka sebagai ibu ini tidak berkonsekuensi saling mewarisi sebagaimana ibu kandung, kemudian boleh juga menikahi anak-anak perempuan Ummahâtul Mukminin. Kedudukan para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Ummahâtul Mukminin tidak lantas menjadikan anak-anak perempuan mereka menjadi saudari-saudari bagi kaum Mukminin.”[7]
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ummat Islam telah sepakat atas haramnya menikahi Ummahâtul Mukminin setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, juga sepakat atas wajibnya memuliakan mereka. Mereka adalah ibunda kaum Mukminin dalam hal kehormatan dan haramnya dinikahi. Namun mereka bukan ibunda kaum Mukminin dalam masalah kemahraman. Oleh karena itu tidak boleh bagi seseorang yang bukan kerabat mereka untuk berkhalwat (berduaan) dengan mereka, sebagaimana bolehnya seorang laki-laki berkhalwat dan safar bersama mahramnya. Oleh karena itulah Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk memakai hijab, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Ahzâb/33:59]
Allah juga berfirman:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ ۚ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasûlullâh dan tidak (pula) menikahi isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allâh. [Al-Ahzâb/33:53][8]
Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Maksudnya (mereka adalah ibunda kaum Mukminin-red) dalam hal kehormatan, haramnya dinikahi, berhak mendapatkan pemulian, penghormatan, pengagungan, akan tetapi tidak diperbolehkan berkhalwat dengan mereka. Haramnya menikahi mereka ini tidak menjalarkan kepada anak-anak perempuan mereka dan saudari-saudari mereka berdasarkan kesepakatan para Ulama.”
Setelah menukil perkataan Ibnu Katsir di atas syaikh Muhammad al-Amîn as-Syingqhiti rahimahullah mengatakan, “Apa yang beliau rahimahullah sebutkan tentang maksud Ummahâtul Mukminin yaitu haramnya menikahi mereka seperti haramnya menikahi ibu kandung, dan wajibnya memuliakan mereka seperti memulyakan ibu kandung ….., ini sangat jelas tidak ada masalah. Ini dikuatkan juga oleh firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ ۚ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. [Al-Ahzâb/33:53]
Karena manusia tidak akan bertanya atau meminta sesuatu kepada ibu kandungnya dari belakang hijab (tabir). Juga dikuatkan oleh firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. [Al-Mujâdilah/58:2]
Sudah jelas dan maklum bahwa istri-istri Nabi tidak pernah melahirkan semua kaum Mukmin padahal mereka adalah ibu-ibu orang-orang Mukmin.”[9]
Dengan uraian di atas maka menjadi jelas bagi kita bagaimana menggabungkan antara firman Allâh (وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ) dan firman-Nya: ( إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ ) dan jelas juga bagi kita makna ibu yang Allâh Azza wa Jalla sematkan kepada istri-istri Rasûlullâh.
Jadi bisa kita katakan, ibu itu ada dua jenis:
Pertama: Ibu secara agama, yaitu ibu yang disebabkan oleh agama. Dalam hal ini, istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibu bagi kaum Mukminin. Karena mereka semua adalah istri-istri Nabi yang berkedudukan seperti bapak bagi kaum Mukminin. Juga karena jasa mereka yang sangat besar dalam meriwayat hadits-hadits Rasûlullâh, berupa perkataan, perbuatan, akhlak, dan ibadah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga dengan sebab mereka ummat mendapatkan manfaat yang sangat besar.
Kedudukan mereka sebagai ibu ini menyebabkan mereka wajib dimuliakan, diagung, ditunaikan hak-hak mereka karena sesugguhnya kedudukan mereka sama seperti kedudukan ibu kandung. Kedudukan ini juga menyebabkan mereka haram dinikahi oleh kaum Mukminin, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasûlullâh dan tidak (pula) menikahi isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allâh. [Al-Ahzâb/33:53].
(Namun) kedudukan ini tidak menyebabkan saling waris mewarisi sebagaimana dengan ibu kandung. Jugakeharaman menikahi mereka tidak menyebar kepada anak perempuan atau saudari-saudari mereka. Oleh karena itu halal menikahi anak atau saudari-saudari mereka, sebagaimana dalil-dalil di atas.
Kedua: Ibu karena nasab. Ibu inilah yang dimaksud dengan firman Allâh :
إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka [Al-Mujâdilah/58:2]
Jadi seorang perempuan merupakan ibu dari anak yang dilahirkannya. Ibu jenis kedua ini memiliki hak-hak dan hukum-hukum yang khusus dalam syari’at sebagaimana yang telah diketahui kaum Muslimin.
Ringkasan dari pemaparan di atas, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkedudukan seperti bapak bagi kaum Mukminin, maka istri-istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkedudukan sebagai ibunda kaum Muslimin, maksudnya ibu dalam hal keharaman untuk dinikahi, wajib dihormati serta dimuliakan, bukan ibu dalam hal kemahraman dan kebolehan untuk berkhalwat dengannya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari al-Jâmi’ Lil Buhûts war Rasâ-il, hlm 379
[2] Kitab Jâmi’ul Bayân ( 11/122 )
[3] Disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam ad-Durrul Mantsûr ( 12/566)
[4] Kitab Jâmi’ul Bayân ( 11/122)
[5] Kitab Al-Umm (5/151)
[6] Kitab Jâmi’ul Bayân (14/112 )
[7] Kitab al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân ( 13/82)
[8] Minhâjussunnah, 4/369
[9] Kitab Adhwâul Bayân (6/470)
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4206-istri-istri-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-sebagai-ummahatul-mukminin.html